BAGAIMANA PRINSIP-PRINSIP PEMBUKUAN FISKAL YANG BAIK?

Istilah laporan keuangan fiskal sebenarnya bukan istilah baku dalam terminologi akuntansi yang lazim berlaku di Indonesia. Istilah ini digunakan oleh Pemerintah dan wajib pajak untuk menghitung laba fiskal perusahaan sesuai dengan peraturan perpajakan sebagai dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang. Bahkan sebenarnya, dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pun tidak pernah disebutkan istilah laporan keuangan fiskal atau neraca fiskal. Demikian juga sebaliknya, dalam akuntansi juga tidak dikenal istilah laporan keuangan komersial atau neraca komersial. Terminologi ini muncul hanya untuk membedakan laporan keuangan komersial untuk akuntansi dengan laporan keuangan fiskal untuk pajak, neraca komersial untuk akuntansi dengan neraca fiskal untuk pajak, serta laba rugi komersial untuk akuntansi dengan laba rugi fiskal untuk pajak.

Pentingnya Laporan Keuangan Fiskal

Tujuan utama dari Laporan keuangan fiskal adalah untuk  menghitung penghasilan kena pajak (taxable income).  Karena sebagaimana diketahui, dalam sistem self assesment, wajib pajak harus menghitung sendiri hutang pajaknya, sehingga keberadaan laporan keuangan itu sangat membantu proses penghitungan. Selain untuk kebutuhan informasi  manajemen, laporan keuangan juga dipakai sebagai alat untuk mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan wajib pajak terutama dalam pemeriksaan, atau bahkan dalam penyidikan pajak. Pada kedua aktivitas itu, laporan keuangan merupakan sasaran utama pemeriksaan. Sebagai pendukung SPT Tahunan PPh, laporan keuangan dalam sistem self assessment juga merupakan laporan pertanggungjawaban atas kepercayaan menghitung pajak terutang yang diserahkan kepada tiap wajib pajak.

Sedemikian pentingnya laporan keuangan itu, sehingga semua lampiran dalam SPT merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan.  Bahkan SPT belum dianggap dimasukkan jika tidak dilampiri dengan laporan keuangan.  Dalam ketentuan perpajakan, perbuatan tidak menyampaikan  SPT dapat mengundang sanksi administrasi yang secara finansial dapat merugikan wajib pajak.

Pembukuan dan Rekonsiliasi Fiskal

Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU KUP menyatakan sebagai berikut : “Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi-laba serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.” Dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan mengenai jenis laporan apa yang harus disampaikan oleh wajib pajak, apakah laporan keuangan fiskal atau komersial. Namun berdasarkan kutipan bunyi undang-undang di atas dapat ditafsirkan bahwa laporan keuangan yang dimaksud adalah laporan yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Laporan keuangan yang disampaikan harus dapat menunjukkan keterangan yang cukup untuk penghitungan penghasilan kena pajak.

Di sisi lain, Pasal  28 UU KUP telah mewajibkan kepada wajib pajak orang pribadi serta badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap untuk menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung  penghasilan kena pajak (atau rugi fiskal) serta untuk menghitung dasar pengenaan pajak yang berkaitan dengan PPN dan PPnBM dan pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lainnya. Dalam penyampaian SPT Tahunan PPh badan wajib pula dilampirkan neraca dan perhitungan rugi laba yang sesuai dengan undang-undang pajak atau yang telah dilakukan rekonsiliasi fiskal.

Berdasarkan memori penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP ditegaskan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Dengan demikian pada prinsipnya pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak diserahkan pada praktik pembukuan yang lazim dalam dunia bisnis. Itulah sebabnya mengapa ketentuan pajak tidak merinci lebih jauh mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah pembukuan ini.

Walaupun secara umum terdapat banyak kesamaan antara prinsip akuntansi komersial dengan akuntansi pajak, tetapi tetap saja tidak terhindarkan adanya beberapa perbedaan, terutama dalam hal pengakuan pendapatan atau biaya. Namun demikian, dalam perkembangan akhir-akhir ini terdapat upaya dari otoritas pajak maupun dari kalangan dunia usaha untuk saling mengharmonisasikan antara perlakuan akuntansi komersial dengan pajak ketika memandang suatu transaksi bisnis.

Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, tidak lantas berarti wajib pajak harus membuat pembukuan ganda. Justru sebaliknya, pada prinsipnya ketentuan pajak tetap menyarankan agar para wajib pajak tidak melakukan pembukuan ganda dalam rangka untuk memenuhi kriteria yang diminta oleh akuntansi komersial maupun   akuntansi pajak. Laporan keuangan tetap dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum dengan menyandarkan pada SAK yang diterbitkan oleh IAI. Laporan keuangan komersial hasil akhir dari pembukuan tersebut dapat diubah menjadi Laporan keuangan fiskal dengan cara melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian dengan peraturan perpajakan melalui proses rekonsiliasi fiskal.

Pada dasarnya rekonsiliasi fiskal dilakukan dalam rangka menghitung jumlah penghasilan kena pajak. Mula-mula ditentukan dahulu jumlah penghasilan neto fiskal, yakni jumlah penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dikurangi dengan pengurangan penghasilan bruto. Dari penghasilan neto fiskal, kemudian dikurangi lagi dengan kompensasi kerugian (bila ada) dan PTKP untuk wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, sehingga didapatlah penghasilan kena pajak. Istilah pengurangan penghasilan bruto dipakai dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) karena tidak seluruh biaya dalam akuntansi dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Oleh karena itu perhitungan laba – rugi secara komersial (berdasarkan SAK) untuk keperluan pengisisan SPT PPh mesti dilakukan rekonsiliasi terlebih dahulu, yakni disesuaikan dengan ketentuan perpajakan.

Adanya rekonsiliasi ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam menentukan penghasilan (pendapatan) dan biaya antara SAK dengan UU PPh. Perbedaan yang biasa timbul antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal sering disebut sebagai beda tetap/permanen dan beda waktu/temporer.

Sesuai dengan sistem self assesment yang dianut UU PPh, maka proses rekonsiliasi fiskal harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Jika laporan keuangan komersial wajib pajak di audit oleh KAP, biasanya rekonsiliasi fiskal ini dicantumkan dalam laporan audit. Mulai SPT PPh Badan tahun 2001 rekonsiliasi fiskal ini wajib dilampirkan bersama dengan SPT yang disampaikan wajib pajak. Namun, mulai penyampaian SPT Tahunan PPh badan Tahun Pajak 2002, proses rekonsiliasi fiskal yang intinya merupakan koreksi fiskal (baik penyesuaian positif dan negatif) telah dimasukkan dalam SPT yaitu di formulir 1771-I.

Pengertian dan Syarat-syarat Pembukuan Menurut Ketentuan Perpajakan

Untuk dapat menghitung dan memperhitungkan sendiri pajak terutang diperlukan  suatu pembukuan dan pencatatan yang teratur terhadap segala kegiatan usaha wajib pajak. Menurut Pasal 1 angka 26 UU KUP :

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau hutang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan penyusunan Laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada saat tahun pajak berakhir.

Dari bunyi pasal tersebut ada hal-hal penting yang biasanya kurang diperhatikan oleh para wajib pajak, yaitu yang menyangkut hal-hal sebagai berikut :

  1. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus dilakukan secara teratur yang berarti harus dikerjakan dari waktu ke waktu dan secara up to date atau dipelihara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini merupakan indikasi benar tidaknya pembukuan wajib pajak; dan
  2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui harga perolehan dan harga penyerahan barang atau jasa yang terutang PPN, tidak terutang PPN, dikenakan PPN 0%, PPN-nya ditangguhkan, PPN-nya ditanggung pemerintah dan dikenakan PPnBM.

Dengan demikian pengertian pembukuan dalam peraturan perpajakan lebih luas cakupannya, karena disamping tujuannya untuk memperoleh angka penghasilan kena pajak juga untuk menghitung kewajiban pemungutan PPN dan PPnBM serta untuk menghitung kewajiban pemotongan dan pemungutan.

Tidak melakukan pencatatan atau pembukuan berarti tidak memenuhi ketentuan undang-undang perpajakan. Bila demikian halnya, maka dapat diperkirakan bahwa wajib pajak akan mengalami kesulitan dalam mempertanggungjawabkan SPT yang dilaporkan pada saat dilaksanakannya pemeriksaan. Pada prinsipnya setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjan bebas di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan, baik untuk wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak Badan. Pengecualian hanya diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau wajib pajak orang pribadi yang penghasilan netonya dihitung dengan mengunakan norma penghitungan penghasilan neto. Walaupun demikian, wajib pajak tersebut tetap harus menyelenggarakan pencatatan sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Ketentuan perpajakan  tidak mengatur mengenai bentuk atau tata cara pembukuan atau pencatatan yang harus dilakukan oleh wajib pajak. Pedoman yang mengatur mengenai hal ini hanya tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) sampai dengan ayat (9) UU KUP yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :

  1. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus mengunakan itikad baik dan mencerminkan keadaan kegiatan usaha yang sesungguhnya;
  2. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta,kewajiban atau hutang, modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak terutang;
  3. Pembukuan dan pencatatan harus dilaksanakan di Indonesia;
  4. Pembukuan atau pencatatan harus menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diijinkan Menteri Keuangan. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing serta mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib pajak dalam rangka penanaman modal asing, kontrak karya, kontrak bagi hasil, kegiatan atau Badan lain setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
  5. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat azas dan dengan metode /stelsel akrual atau metode/stelsel kas;
  6. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak;
  7. Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia selama sepuluh tahun untuk:
  8. Wajib pajak orang pribadi, di tempat tinggal atau tempat kedudukan;
  9. Wajib pajak badan di tempat kedudukan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, badan atau orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia yang menurut undang-undang perpajakan diwajibkan untuk melakukan pembukuan, harus menyelenggarakan pembukuan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

  1. pembukan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukannya;
  2. pembukuan harus dilakukan secara teratur , tepat waktu, terinci dan taat azas;
  3. pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya;
  4. pembukuan harus ditutup dengan membuat laporan neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir tahun pajak.

Pada prinsipnya pembukuan pajak mengikuti pembukuan akuntansi. Akuntansi menganut stelsel kas dan akrual, sedangkan pajak membolehkan wajib pajak melakukan pembukuan berdasarkan stelsel akrual atau stelsel kas yang telah dimodifikasi (modified cash basis), asal dilakukan secara taat azas. Dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak, maka pembukuan harus dilaksanakan dengan modified cash basis yang dapat diterangkan sebagai berikut :

  1. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh penjualan baik tunai maupun kredit, konsekuensinya penghitungan harga pokok penjualan juga harus menyertakan seluruh pembelian dan persediaan; dan
  2. Dalam hal memperoleh harta yang dapat disusutkan dan atau hak yang dapat diamortisasikan, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.

Penutup

Dari hasil pembukuan tersebut diharapkan keterangan-keterangan atau informasi yang dibutuhkan untuk menghitung pajak terutang dapat menjadi lengkap dan memudahkan wajib pajak maupun pemeriksa pajak untuk memeriksanya. Terselenggaranya pembukuan yang lengkap dan terinci mengenai semua transaksi yang telah dilakukan akan memberi manfaat antara lain mempermudah wajib pajak dalam mengisi SPT dan penghasilan kena pajak dapat dihitung dengan tepat oleh wajib pajak. Di sisi lain, wajib pajak pun dapat mengetahui secara pasti mengenai posisi keuangan serta hasil kegiatan usahanya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s