MANA LEBIH UNTUNG, PEMBUKUAN ATAU PENCATATAN?

Pada dasarnya mekanisme pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) kita adalah pemajakan per basis neto (net basis of taxation). Maksudnya PPh hanya dikenakan atas penghasilan bersih, yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya. Prinsip pengenaan PPh per basis neto ini menunjukkan kuatnya asas “ability to pay” yang mencerminkan keadilan horizontal bagi para wajib pajak.

            Sisi keadilan bagi wajib pajak ini terlihat jelas dari karakter penghasilan bersih yang merupakan representasi dari kemampuan (kinerja) wajib pajak dalam memperoleh laba. Dengan demikian idealnya setiap wajib pajak menyelenggarakan pembukuan (sistem akuntansi) untuk menghitung penghasilan bersihnya. Namun disadari bahwa tidak semua wajib pajak mampu menyelenggarakan pembukuan, khususnya untuk orang pribadi. Sedangkan semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap (BUT) diwajibkan menyelenggarakan pembukuan oleh undang-undang. Maka dalam hal tertentu akan ada pilihan bagi wajib pajak orang pribadi untuk menyelenggarakan pembukuan atau tidak. Soal pilihan mana yang lebih tepat, inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Pembukuan dan Pencatatan

            Istilah ‘pembukuan’ dan ‘pencatatan’ dapat ditemukan di Pasal 28 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Kedua istilah ini mempunyai arti dan maksud dan berbeda, dan telah diformalkan menjadi istilah baku di dalam terminologi perpajakan. Sesuai dengan definisi yang diberikan oleh UU KUP, pembukuan dilakukan sekurang-kurangnya untuk memperoleh informasi mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Sedangkan pencatatan, UU KUP memang tidak memberikan definisinya secara jelas. UU hanya menyebutkan bahwa pencatatan dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data tentang peredaran atau penerimaan bruto, dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

            Sesuai ketentuan, semua wajib pajak badan dan BUT tanpa kecuali mulai tahun pajak 2001 telah diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Dengan begitu mereka akan menghitung pajak yang terutang melalui mekanisme pembukuan atau sistem akuntansi yang diterapkan. Khusus bagi wajib pajak orang pribadi, karena karakteristiknya yang unik, mekanisme pembukuan tidak dapat diterapkan secara merata. Untuk wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan usaha atau pekerjaan bebas misalnya, pembukuan tidak cocok diberlakukan karena justru akan menyulitkan wajib pajak dan tidak efisien. Sedangkan untuk yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas kewajiban pembukuan dapat dilaksanakan secara selektif. Ukuran yang dipilih untuk menggolongkan apakah wajib pajak mampu menyelenggarakan pembukuan atau tidak adalah ukuran omzet atau peredaran usaha. Sehingga kriteria wajib pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pembukuan ini diatur tersendiri di dalam ketentuan material, yakni di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

            Pasal 14 UU PPh memberikan batasan bahwa norma penghitungan penghasilan neto boleh digunakan oleh wajib pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 miliar. Artinya, jika wajib pajak memilih menggunakan norma penghitungan maka ia wajib menyelenggarakan pencatatan. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan norma penghitungan penghasilan neto merupakan konsekuensi dari diselenggarakannya pencatatan. Menyimak aturan ini, masih dimungkinkan bagi wajib pajak untuk memilih menyelenggarakan pembukuan, jika ia menghendaki. Sebab UU PPh menggunakan kata ‘boleh’ bagi wajib pajak tersebut untuk menggunakan norma. Jadi opsi untuk memilih menggunakan norma atau tidak, akan memunculkan dampak tersendiri bagi wajib pajak orang pribadi. Ibarat kepala dilepas namun ekor tetap dipegang, sekali wajib pajak memutuskan pilihannya, akan selalu diikuti dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan.

Menimbang Untung – Rugi Pembukuan dan Pencatatan

            Bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan omzet dibawah Rp4,8 miliar, pilihan antara pembukuan atau pencatatan dapat menimbulkan masalah tersendiri. Karena seperti dikatakan sebelumnya, sekali pilihan diambil akan ada konsekuensi yang timbul. Diantaranya adalah, pembukuan atau pencatatan tersebut harus dilakukan secara taat asas dan dokumen-dokumennya harus disimpan selama sepuluh tahun. Bagi wajib pajak telah yang memilih pembukuan tetapi tidak menyelenggarakan dengan semestinya, akan dikenai sanksi kenaikan sebesar 50% dari jumlah pajak kurang bayar yang dihitung dengan menerapkan norma.

            Secara jujur harus diakui, bahwa pada kenyataannya opsi di atas lebih banyak dipilih wajib pajak karena alasan yang bersifat pragmatis ketimbang realitas kemampuan ekonomis yang objektif. Yaitu, mana dari pilihan itu yang akan menghasilkan hitungan pajak lebih kecil. Hal ini dapat dimaklumi mengingat undang-undang perpajakan kita menganut sistem self assesment. Di mana wajib pajak diberikan keleluasaan untuk ‘menghitung dan memperhitungkan’ sendiri pajak yang harus dibayarnya, tanpa harus menunggu diterbitkannya ketetapan pajak terlebih dahulu.

            Tak dapat dipungkiri, bahwa daya tarik utama dari pencatatan adalah mekanismenya yang sederhana, mudah dan praktis digunakan. Wajib pajak tidak direpotkan dengan mengumpulkan dan mencatat sekian banyak bukti pengeluaran kas, karena memang tidak diperlukan. Kesederhanaan tampak dari sedikitnya laporan yang harus dibuat oleh wajib pajak. Wajib pajak cukup membuat semacam rekapitulasi omzet bulanan dalam satu tahun dan tidak perlu membuat rinciannya. Rekap itu terutama dibuat untuk penghasilan yang merupakan objek pajak yang akan dihitung pajaknya. Selain itu, ketentuan juga mengharuskannya membuat rekap penghasilan yang dikenakan pajak final dan yang bukan objek pajak, jika memang ada.

            Kemudahan dari pencatatan dapat dilihat dari tidak adanya perhitungan yang rumit, karena wajib pajak tidak perlu mengurangkan biaya-biaya untuk menentukan jumlah penghasilan bersihnya. Sedang sifat praktisnya tentu saja pada saat wajib pajak melakukan penghitungan jumlah pajak yang terutang. Total omzet cukup dikalikan dengan sebuah angka (dalam persentase) yang merupakan norma penghitungan penghasilan neto. Jika penghasilan neto sudah diperoleh, selanjutnya penghitungan pajak terutang akan mengikuti kaidah yang biasa. Yaitu, penghasilan neto dikurangi dengan zakat atas penghasilan dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), baru kemudian dikalikan tarif pajak.

            Satu hal lagi yang merupakan keuntungan pencatatan, yaitu lebih murah ongkosnya daripada pembukuan. Kesederhanaan dan kemudahaannya menjadikan pencatatan dapat dilakukan oleh hampir setiap orang, sehingga wajib pajak dapat melakukannya sendiri tanpa harus secara khusus mempekerjakan orang untuk urusan ini. Disamping itu, dalam hal penyimpanan dokumen dan sarana pencatatan, wajib pajak akan diuntungkan dengan lebih sedikitnya berkas. Tidak adanya pengakuan terhadap biaya-biaya akan meniadakan kewajiban pengumpulan bukti-bukti pengeluaran kas. Sementara di sisi yang lain, tidaklah mungkin mewajibkan wajib pajak melampirkan bukti-bukti penerimaan penghasilan.

            Ibarat sebuah pisau bermata dua, opsi pencatatan dapat pula malah merugikan bagi wajib pajak. Seperti diketahui bahwa dalam pencatatan tidak boleh ada pengakuan biaya-biaya. Dengan demikian wajib pajak tidak akan pernah mencatat kerugian dari usaha atau pekerjaan bebasnya. Ini artinya, wajib pajak akan selalu dianggap untung. Dan artinya pula, wajib pajak masih harus terus membayar pajak. Konsekuensi berikutnya, wajib pajak akan kehilangan haknya untuk melakukan kompensasi kerugian, karena tidak akan pernah mencatat kerugian secara fiskal. Dan yang perlu dicatat, penghitungan pajak yang terutang dengan memakai norma tidak jarang menghasilkan hitungan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan pembukuan.

            Bila di atas telah diuraikan beberapa keuntungan dan kerugian dari pencatatan. Marilah sekarang kita beralih ke pembukuan. Ternyata tidak secara otomatis semua keuntungan pencatatan merupakan kerugian bagi pembukuan. Demikian pula, semua kerugian pencatatan tidaklah otomatis merupakan keuntungan bagi pembukuan. Masalah ini harus kita cermati berdasarkan aspek yang melekat pada masing-masing karakter tersebut. Maksudnya begini, aspek formal dari keuntungan dan kerugian pencatatan itu secara timbak-balik akan menjadi kerugian dan keuntungan bagi pembukuan. Contoh, karakter praktis, biaya tidak diakui, dan tidak bisa rugi/kompensasi rugi pada pencatatan secara otomatis akan menjadi kurang praktis, biaya diakui, dan bisa rugi/kompensasi rugi pada pembukuan.

            Untuk karakter sederhana, murah, dan pajak lebih besar pada pencatatan, tidak selalu akan berlaku sebaliknya dalam pembukuan. Aspek material yang melekat pada karakter tersebut masih perlu dibuktikan dalam praktik. Misalnya, untuk wajib pajak dengan omzet kecil dan kompleksitas transaksi rendah, pembukuan secara sederhana masih dapat dilakukan. Selain itu, dokumen-dokumen transaksi yang masih sedikit menyebabkan wajib pajak dapat menghemat biaya penyelenggaraan pembukuan. Demikian pula sebaliknya.

            Sekadar ilustrasi, untuk menggambarkan variasi besarnya pajak yang terutang menurut kedua metode penghitungan tersebut, dapat dilihat di tabel berikut.

UraianKeadaan – 1Keadaan – 2Keadaan – 3
Peredaran Usaha (omzet)Rp 100.000.000Rp 100.000.000Rp 100.000.000
Biaya-biaya70.000.00080.000.00090.000.000
Penghasilan Neto (PN)30.000.00020.000.00010.000.000
PN dengan Norma (20%)20.000.00020.000.00020.000.000
Selisih10.000.000(10.000.000)

Anggaplah dalam contoh di atas norma penghitungan penghasilan neto sebesar 20%. Penghasilan netonya berturut-turut dibandingkan antara hasil pembukuan dengan penggunaan norma. Dari ketiga keadaan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa : semakin tipis margin keuntungan yang diperoleh (secara riil), akan semakin tidak menguntungkan lagi penggunaan norma penghitungan. Namun, wajib pajak harus juga memperhitungkan besaran persentase norma yang akan diterapkan. Karena persentase norma juga turut mempengaruhi analisis perhitungan di atas.

             Karakter lain yang juga penting diperhatikan bagi wajib pajak adalah banyaknya variabel yang bisa digunakan untuk keperluan perencanaan pajak (tax planning). Dalam ilustrasi tampak bahwa penghitungan pajak dengan pembukuan memiliki variabel yang lebih banyak daripada pencatatan, yaitu omzet dan biaya. Bandingkan dengan pencatatan yang hanya memiliki omzet sebagai satu-satunya variabel. Dengan demikian untuk wajib pajak yang memilih pembukuan akan lebih fleksibel dalam menentukan jumlah pembayaran pajak mereka dengan ‘mengatur’ omzet dan biaya sekaligus. Pada pencatatan, keleluasaan itu hanya dapat dilakukan atas omzet saja.

Simpulan dan Saran

            Bagi wajib pajak OP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar setahun, pilihan antara melakukan pembukuan atau pencatatan untuk tujuan PPh, bisa menjadi persoalan tersendiri. Dengan membandingkan keuntungan dan kerugian masing-masing pilihan di atas, setidaknya masalah ini bisa menjadi lebih jelas. Untuk wajib pajak yang dapat memperkirakan bahwa penghasilan netonya akan lebih besar (biaya-biayanya sedikit), tampaknya penggunaan norma dapat dipertimbangkan. Ini umumnya cocok diaplikasikan untuk wajib pajak yang menjalankan pekerjaan bebas, di mana beban harga pokok dan biaya lainnya relatif tidak signifikan dibandingkan dengan peredaran usaha yang diperoleh. Selain itu, alasan kesederhanaan, kepraktisan, dan efisiensi  pencatatan juga akan mendukung pilihan ini.

            Sedangkan bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha, perlu dibedakan lagi per sektor usahanya. Usaha di sektor jasa yang banyak menghasilkan margin laba tinggi, umumnya juga akan dikenakan norma yang tinggi pula. Jadi wajib pajak harus memperhitungkan pula besarnya norma dengan perkiraan laba yang akan diperoleh. Untuk wajib pajak di sektor industri dan perdagangan, yang pada umumnya keuntungan lebih tipis karena tergerus harga pokok, disarankan untuk menyelenggarakan pembukuan. Alasan fluktuasi omzet dan perputaran (turn-over) persediaan turut memperkuat pilihan ini. Namun secara umum, untuk wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha, tetap disarankan untuk memilih pembukuan agar penghasilan netonya dapat dihitung secara lebih proporsional. Demikian.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s