RUU PERPAJAKAN DI TENGAH POLEMIK PRO DAN KONTRA

Siapapun pasti akan memaklumi bahwa selama dua dasawarsa terakhir ini penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan andalan pembiayaan pembangunan, sebagaimana tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disahkan DPR setiap tahunnya. Dari APBN itu terlihat jelas betapa penerimaan pajak (tax revenue) mempunyai peranan yang strategis dalam menunjang operasi fiskal Pemerintah, baik dalam pengeluaran rutin (current expenditure) dan pengeluaran pembangunan (capital expenditure) maupun dalam pengelolaan dan pengendalian kebijakan ekonomi makro.

Peran Strategis Pajak Dalam Perekonomian

Sebenarnya, peranan strategis penerimaan pajak adalah fenomena yang lazim terjadi di berbagai negara, baik di negara maju maupun negara berkembang. Bagi Indonesia, upaya peningkatan penerimaan pajak merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam memelihara kebijakan fiskal yang berkelanjutan (sustainable fiscal policy), dan sekaligus menciptakan stimulus bagi bergeraknya roda perekonomian masyarakat (fiscal stimulus). Dalam usaha menciptakan fiscal stimulus tersebut diperlukan pengeluaran ekstra, yang berarti menuntut perlunya pengerahan sumber-sumber penerimaan dalam negeri, khususnya penerimaan pajak secara optimal. Namun perlu dicatat bahwa orientasi dari fiscal stimulus itu adalah untuk kepentingan rakyat atau bangsa secara keseluruhan. Bukan sebaliknya, justru diarahkan kepada kepentingan segolongan orang atau kelompok tertentu.

Dari perspektif ekonomi, maka tujuan tumbuh kembangnya sektor perekonomian rakyat haruslah menjadi prioritas utama bagi kebijakan fiskal Pemerintah, disamping faktor keadilan masyarakat. Dengan kebijakan fiskal yang semakin bersahabat dengan perekonomian, diharapkan dapat merangsang tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru yang potensial menyerap tenaga kerja sehingga bisa mengurangi tingkat pengangguran yang pada gilirannya kesejahteraan rakyat akan meningkat.

Pajak Tetap Akan Jadi Andalan

Kebijakan untuk mengoptimalkan dukungan penerimaan dari sektor perpajakan dinilai tetap merupakan opsi yang paling realistis di tengah sumber-sumber penerimaan bukan pajak yang sangat fluktuatif karena tergantung pada perkembangan faktor eksternal yang relatif sulit diprediksi. Sebagai sebuah kebijakan yang lebih memandang ke dalam (inward looking policy), penerimaan dari sektor pajak diharapkan mampu mengurangi ketergantungan dari utang luar negeri serta mampu membangkitkan kembali kepercayaan diri kita sebagai bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, di masa-masa yang akan datang sumber pembiayaan negara akan sangat bergantung dari sektor perpajakan. Bahkan, Pemerintah sendiri telah mencanangkan bahwa pada tahun anggaran 2007 nanti, APBN bisa ditopang sepenuhnya dari penerimaan pajak.

Disadari bahwa kebutuhan dana anggaran untuk membiayai tugas-tugas Pemerintah yang bersumber dari penerimaan pajak akan terus meningkat dalam tahun-tahun mendatang. Untuk itu, tekad mewujudkan kemandirian APBN dalam operasionalnya mendesak untuk segera dilaksanakan, walaupun secara bertahap dengan cara meningkatkan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun. Upaya ini mutlak menuntut partisipasi aktif dari seluruh komponen bangsa, sebab tanpa partisipasi dari seluruh masyarakat, khususnya masyarakat pembayar pajak, Pemerintah tidak akan sanggup melakukannya sendiri.

Reformasi Perpajakan dan Pro-Kontra RUU Perpajakan

Penerimaan pajak yang tidak tercapai akan menganggu kemampuan Pemerintah dalam menyediakan layanan publik maupun dana pembangunan yang pada gilirannya juga mempunyai dampak terhadap makro ekonomi. Akan tetapi, harus disadari bahwa sistem perpajakan dalam upaya mencapai sasaran penerimaan harus diupayakan untuk tidak mengganggu sendi-sendi perekonomian lainnya secara makro. Dalam mengantisipasi dan mengiringi dinamika public finance dan kegiatan para pelaku ekonomi yang dinamis, dan fiscal sustainability tetap terjaga, reformasi perpajakan menjadi suatu kebutuhan mutlak. Reformasi perpajakan adalah perubahan di segala aspek perpajakan.  Reformasi perpajakan bukanlah barang baru, dan kemunculannya bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan oleh pihak manapun, karena dalam prosesnya selalu mengikutsertakan stakeholders-nya. Reformasi perpajakan yang tengah bergulir saat ini, sesungguhnya tidak hanya sebatas pada reformasi perundang-undangan perpajakan saja. Namun, terhitung sejak awal millenium ini, Pemerintah terus gencar melakukan reformasi moral, etika dan integritas aparat pajak, serta reformasi sistem administrasi dan kelembagaan institusi perpajakan. 

Belum lama berselang, ramai diperbincangkan orang di berbagai media masa mengenai polemik menyangkut rencana Pemerintah yang akan mereformasi sejumlah undang-undang perpajakan. Sejauh ini, rancangan undang-undang perpajakan tersebut telah selesai pembahasannya di tingkat Pemerintah dan sekarang ini sudah ada di tangan DPR sebagai lembaga legislatif. Rancangan UU (RUU) perpajakan dimaksud adalah :

  1. RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang akan mengubah UU Nomor 6 Tahun 1983 (telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2000);
  2. RUU tentang Pajak Penghasilan (RUU PPh) yang akan mengubah UU Nomor 7 Tahun 1983 (telah diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2000); dan
  3. RUU Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (RUU PPN dan PPnBM) yang akan mengubah UU Nomor 8 Tahun 1983 (telah diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000).

Sebagai sebuah produk kebijakan setingkat undang-undang yang nantinya akan mengikat seluruh elemen bangsa, maka Pemerintah tidaklah dapat berjalan sendirian dalam menetapkan RUU perpajakan di atas. Sesuai dengan mekanisme sistem kenegaraan kita, untuk produk peraturan setingkat undang-undang haruslah ada persetujuan dari Pemerintah bersama-sama dengan DPR, barulah kemudian RUU tadi dapat disahkan menjadi undang-undang. Di dalam hierarki tata perundang-undangan negara kita, undang-undang memiliki kedudukan yang sangat tinggi, yakni hanya setingkat di bawah UUD 1945 yang merupakan hukum dasar. Dengan demikian setelah undang-undang disahkan, maka seluruh produk peraturan di bawahnya tidak boleh menyimpang dari undang-undang tersebut.

Berangkat dari pemahaman di atas, wajar apabila kemudian wacana perubahan undang-undang di bidang perpajakan segera memicu respon dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan diberlakukannya undang-undang tersebut. Munculnya respon atau polemik ini dapat dianggap sebagai indikator dari mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam masalah perpajakan di tanah air. Idealnya, semakin banyak dan beragam respon yang muncul akan membuat semakin baik pembahasan di tingkat materi RUU yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Namun demikian, diharapkan polemik ini tidak sampai berlarut-larut yang berakibat pada terus tertundanya pengesahan undang-undang perpajakan. Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga dinamika perekonomian di masyarakat tetap membutuhkan suatu iklim usaha yang kondusif dalam wujud adanya kepastian hukum. Dengan terus tertundanya pengesahan RUU perpajakan menjadi UU, dikhawatirkan justru akan membuat iklim usaha semakin tidak pasti yang pada gilirannya dapat mengancam pertumbuhan sektor riil dan perkembangan investasi di negara kita. Tentu kondisi semacam ini tidak kita inginkan.  

Sejatinya, tidak dapat disangkal bahwa kemunculan polemik antara pro dan kontra terhadap RUU perpajakan berawal dari adanya tujuan dan dasar pemikiran yang berbeda antara Pemerintah dengan masyarakat, khususnya para pelaku ekonomi (pengusaha). Kondisi demikian akan selalu terjadi mengingat Pemerintah sebagai lembaga eksekutif setiap tahunnya selalu dihadapkan pada beban fiskal anggaran yang cukup berat terkait dengan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan di sisi lain, para pengusaha akan senantiasa berusaha memaksimalkan keuntungannya, dan juga membutuhkan keleluasaan ruang untuk bergerak. Perbedaan kepentingan antara Pemerintah vis a vis pengusaha ini akan berimplikasi pada terciptanya asymmetric thinking yang sulit untuk dipertemukan.

Namun, Pemerintah nampaknya segera menyadari bahwa betapapun peliknya keluar dari belitan masalah klasik soal anggaran yang terbatas ini, hendaknya tidak sampai  mengorbankan perekonomian yang memberikan dampak positif lebih luas dan berjangka panjang bagi masyarakat. Alih-alih untuk memaksimalkan penerimaan negara, fungsi pajak sebagai salah satu instrumen pengatur (regulerend) kehidupan sosial ekonomi masyarakat justru harus tetap dipertahankan. Ibarat kisah seorang petani dengan angsa bertelur emas, maka tindakan yang tepat bukannya malah menyembelih angsanya untuk mengambil telurnya, namun hendaknya tetap memelihara angsa-angsa tersebut hingga kedepannya mampu memberikan hasil yang lebih memuaskan. Itulah analogi hubungan yang ideal antara Pemerintah dengan para pengusaha. Oleh karena itu, Pemerintah berusaha agar RUU perpajakan ini lebih business friendly daripada yang berlaku saat ini.

Arah dan Tujuan Penyempurnaan UU Perpajakan

Logika hukum mengatakan bahwa apabila ketentuan yang baru belum disahkan, maka akan tetap diberlakukan ketentuan yang lama. Demikian pula halnya dengan ketentuan perpajakan. Konsekuensi ini hendaknya perlu disadari oleh semua pihak, mengingat ketentuan perpajakan yang lama ternyata tidak lebih baik daripada RUU yang kini diusulkan Pemerintah. Pemerintah justru memandang bahwa dalam ketentuan perpajakan yang lama (yang berlaku sekarang) masih mengandung sejumlah kelemahan sehingga perlu disempurnakan guna mengikuti realitas perkembangan dunia saat ini. Arah dan tujuan penyempurnaan undang-undang perpajakan ini dapat dirinci untuk setiap RUU perpajakan berikut ini.

1. RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

RUU ini merupakan perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983. Dalam RUU ini dinyatakan bahwa, dalam rangka pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan, diperlukan pembiayaan dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Sesuai dengan arah kebijakan dalam pembangunan nasional untuk mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi, efektivitas, untuk menambah penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan terhadap dana pinjaman atau bantuan luar negeri, maka penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak menjadi sangat penting karena merupakan sumber utama pembiayaan negara. Oleh karena itu, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk UU KUP harus dapat menampung perkembangan sosial ekonomi yang terjadi dalam masyarakat.

Mengingat pentingnya peran pajak dalam pelaksanaan pembangunan nasional, dan sebagai pelaksanaan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Tahun 2003, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan perlu diatur lebih lanjut dalam undang-undang, maka perubahan UU KUP harus dilakukan dengan undang-undang.

Dalam perubahan UU KUP ini tetap dilaksanakan berdasarkan sistem self assesment dengan memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, keterbukaan dan efisiensi. Selain itu, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka perubahan undang-undang ini juga mencakup modernisasi administrasi perpajakan yang meliputi penyempurnaan beberapa aspek yaitu kemudahan, penyederhanaan dan peningkatan pelayanan administrasi perpajakan seperti pengaturan mengenai pendaftaran, penyampaian Surat Pemberitahuan, pembayaran, dan pelaporan perpajakan dapat dilakukan secara elektronik, yaitu melalui program aplikasi on-line.

2. RUU tentang Pajak Penghasilan (PPh)

            RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983. Sebagaimana disebutkan dalam RUU tersebut bahwa, dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan UU PPh guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan, khususnya di bidang ekonomi.

            Perubahan UU PPh dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, dan kemudahan/efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assesment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan UU PPh ini adalah sebagai berikut :

  1. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
  2. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
  3. Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
  4. Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi;
  5. Menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan UU PPh yang meliputi pokok-pokok sebagai berikut :

  1. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya.
  2. Dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan. Perubahan dan penyederhanaan struktur tarif ini meliputi penurunan tarif secara bertahap dan terencana, dan pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak tersebut.
  3. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assesment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran usaha untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran usaha untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang semakin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak  agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat azas.

3. RUU tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah (PPN dan PPnBM)

            RUU ini merupakan perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983. Seperti disebutkan dalam RUU tersebut, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, serta internasional, terus menciptakan jenis-jenis serta pola-pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi-transaksi jasa baru atau merupakan modifikasi dari transaksi-transaksi sebelumnya yang pengenaan PPN-nya belum diatur dalam UU PPN.

            Dalam rangka menjawab perubahan-perubahan yang sangat cepat tersebut, maka perlu dilakukan pembaharuan dan penyempurnaan UU PPN. Pembaharuan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya UU Nomor 8 Tahun 1983. Langkah-langkah pembaharuan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya UU Nomor 18 Tahun 2000.

            Lebih lanjut, sebagaimana halnya dengan perubahan undang-undang perpajakan sebelumnya, dijelaskan bahwa perubahan UU PPN ini bertujuan untuk :

  1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan PPN. Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam UU PPN.
  2. Menyederhanakan sistem PPN. Penyederhanaan sistem PPN dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam UU PPN yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  3. Mengurangi biaya kepatuhan. Penyederhanaan sistem PPN diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
  4. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Tercapainya tujuan-tujuan tersebut di atas, diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya tax ratio.
  5. Tidak mengganggu penerimaan PPN. Disamping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
  6. Mengurangi distorsi dan meningkatkan kegiatan ekonomi.

Simpulan

Dua fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair dan fungsi regulerend, ibarat pisau bermata dua yang pemberlakuan kedua-duanya sering memunculkan persoalan yang dilematis. Di satu sisi, Pemerintah selalu dihadapkan pada masalah klasik soal terbatasnya anggaran negara di mana tidak ada alternatif pembiayaan yang paling realistis dan efektif selain dari penerimaan pajak. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya pilihan lain bagi Pemerintah kecuali menggenjot penerimaan negara dari sektor perpajakan, sehingga sulit dihindarkan adanya nuansa revenue oriented dalam pengusulan RUU perpajakan kali ini. Di sisi lain, Pemerintah juga menyadari bahwa pajak berfungsi sebagai instrumen pengatur kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang memainkan peranan dalam redistribusi pendapatan dan kesejahteraan, sebagai stabilisator dan stimulator dalam perekonomian, serta berbagai peranan penting lainnya. Menghadapi problematika semacam ini, mutlak diperlukan upaya reformasi perpajakan yang akan menjadikan balanced kedudukan kedua fungsi pajak tadi. Reformasi perpajakan hendaknya tidak sebatas pada reformasi peraturan perundang-undangan saja, namun perlu terus dibarengi dengan reformasi moral, etika dan integritas kelembagaan dan aparatnya, serta reformasi sistem administrasi perpajakan yang notabene paling menyentuh aspek teknis di lapangan. Dengan bekal ini, niscaya citra dan kredibilitas otoritas pajak dapat meningkat. Dan, yang paling penting adalah komitmen yang kuat dari Pemerintah untuk tidak menambah beban apapun yang dapat memberatkan dunia usaha. 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s