Artikel pernah dimuat di majalah internal DJP Intax.
Penetapan batu bara sebagai barang kena pajak barangkali bisa jadi solusi terbaik yang menguntungkan, baik bagi pemerintah maupun pengusaha tambang. Meski masih dapat diperdebatkan secara akademis, kebijakan ini diyakini dapat mengakhiri polemik sengketa pajak batu bara yang selama ini terjadi dan telah menguras banyak energi dan sumberdaya.

Ada sebuah perubahan signifikan pada aspek kebijakan objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Perubahan itu berupa penetapan batu bara sebagai barang kena pajak (BKP). Selama ini, batu bara termasuk dalam jenis barang hasil tambang yang tidak dikenai PPN. Selengkapnya bunyi ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN berubah menjadi “jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batubara.”
Sebenarnya, masuknya klausul batu bara ke dalam rumusan UU PPN di atas merupakan imbas dari sebuah perjalanan panjang dan melelahkan. Sejak booming industri tambang batu bara terjadi di Indonesia awal 2000-an, sejak itu pula sering muncul polemik tentang perlakuan pajaknya (PPN). Isu seputar PPN batu bara yang sering dipersoalkan berkisar pada masalah restitusi PPN hingga sengketa pajak antara pemerintah versus pengusaha tambang.
Pangkal dari permasalahan tersebut ada pada definisi pajak, apakah batu bara termasuk sebagai BKP atau non BKP. Padahal, UU PPN 1984 secara tersirat telah mengelompokkan batu bara sebagai barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, sehingga tidak termasuk sebagai BKP.
Secara ekonomi, kegiatan penambangan batu bara merupakan ladang bisnis yang menguntungkan bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri pertambangan. Seperti diketahui, cadangan batu bara Indonesia mencapai 26,2 miliar ton. Bila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru maka umur cadangan batu bara masih 56 tahun lagi (Kementerian ESDM, 2018). Kalimantan tercatat sebagai wilayah yang menyimpan cadangan batu bara terbesar, yaitu 14,9 miliar ton. Disusul kemudian oleh Sumatera (11,2 miliar ton), dan Sulawesi (0,12 juta ton).
Seiring silih bergantinya rejim yang berkuasa, silih berganti pula kebijakan terkait model pengusahaan tambang batu bara yang diterapkan. Tercatat untuk pertama kalinya sistem kontrak karya dalam pengusahaan tambang diperkenalkan tahun 1967, yakni saat Pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia.
Selanjutnya pada 1981 mulai dijalankan model kontrak yang disebut Kontrak Kerjasama dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Tahun itu menandai dimulainya PKP2B Generasi I antara PT Tambang Batubara Bukit Asam dengan kontraktor. Setelahnya, PKP2B Generasi II berlangsung antara 1993 – 1996. Sementara yang masih ada sekarang ini adalah kontraktor pertambangan batu bara Generasi III untuk kontrak yang dibuat mulai tahun 1996.
Namun, dengan berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak ada lagi kontrak baru yang dibuat dan dinyatakan bahwa kontrak karya yang ada akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa kontrak. Praktis sejak 2009, sudah tidak ada lagi kontrak karya atau perjanjian karya pertambangan yang baru. Semuanya berubah menjadi izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh pemerintah.
Dilihat dari sifat produksinya, penambangan batu bara adalah kegiatan produksi yang bersifat ekstraktif, yaitu suatu kegiatan penggalian, pengambilan, atau pengelolaan kekayaan alam yang tidak perlu diolah atau tidak diusahakan sebelumnya. Jadi secara konsep value added, kegiatan penambangan batu bara tidak termasuk sebagai penyerahan BKP yang terutang PPN. Umumnya batu bara langsung dijual atau diserahkan begitu saja (masih dalam bentuk mentah) oleh pengusaha tanpa melalui proses yang dapat menambah nilai.
Industri tambang batu bara merupakan industri padat modal yang banyak menggunakan faktor-faktor produksi dalam menjalankan usahanya. Pengeluaran perusahaan, terutama investasi untuk menghasilkan barang tambang harus ditebus dengan biaya yang tidak sedikit. Dimana di dalamnya terdapat unsur PPN masukan yang sudah dibayarkan. Status batu bara sebagai non BKP berakibat pada pajak masukan tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan saat melakukan penyerahan batu bara. Tentu ini dinilai sangat merugikan dari sisi cashflow perusahaan dan dapat menghambat kelangsungan bisnis mereka.
Disadari bahwa terdapat beda kepentingan antara pemerintah dan para pengusaha. Di satu sisi pemerintah mengharapkam adanya penerimaan pajak yang tinggi, sementara di sisi lain pengusaha berupaya membayar pajak yang cenderung kecil. Perbedaan kepentingan ini telah memicu terjadinya sengketa pajak yang berkepanjangan antara perusahaan tambang batu bara melawan pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Frekuensi sengketa pajak DJP versus perusahaan tambang batu bara makin meningkat saat pemerintah menegaskan bahwa batu bara merupakan non BKP melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN. PP itu menyebutkan bahwa batu bara merupakan non BKP sehingga atas penjualannya tidak dikenakan PPN. Pengaturan ini berdampak pada pajak masukan yang telah dibayarkan perusahaan menjadi tidak dapat dikreditkan. Akibatnya, mereka tidak dapat mengklaim kelebihan pembayaran PPN (restitusi) ke kantor pajak.
Sengketa menjadi bertambah rumit ketika penyelesaian kewajiban perpajakan antar perusahaan tambang batu bara yang berasal dari PKP2B generasi yang berbeda ternyata berbeda pula perlakuan pajaknya. Perbedaan tiap generasi dalam masa penandatanganan kontrak berdampak pada aspek hukum yang menyebabkan putusan yang berbeda, meski masih dalam jenis sengketa pajak yang sama.
Keadaan di atas tak terlepas dari adanya dua terminologi yang popular dalam kontrak pertambangan, yaitu nailed down dan prevailing. Skema nailed down mengacu pada kewajiban perpajakan yang bersifat tetap, yakni menurut undang-undang pajak yang berlaku saat penandatangan kontrak. Sedangkan skema prevailing menyatakan bahwa perlakuan pajak bersifat dinamis sesuai dengan undang-undang pajak yang berlaku dari waktu ke waktu.
PP No. 144 Tahun 2000 tidak secara tersurat menyatakan bahwa batu bara non BKP, tetapi menjelaskan secara tak langsung bahwa kelompok jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan PPN. PP tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan batu bara yang tidak dikenakan PPN adalah batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara. Hanya batu bara yang sudah mengalami proses pengolahan saja (untuk meningkatkan nilai tambah) yang menjadi BKP.
Selanjutnya terbit aturan teknis di sektor pertambangan mineral dan batu bara, yaitu PP No. 23 Tahun 2010 yang menjelaskan bahwa pengertian pengolahan meliputi: peningkatan mutu batubara, pembuatan briket batubara, pencairan batubara, gasifikasi batubara, coal slury/coalwater mixture. Ini artinya, batubara yang belum mengalami beberapa jenis pengolahan masih dianggap sebagai barang tambang yang diambil langsung dari sumbernya, atau belum mengalami peningkatan nilai tambah, sehingga merupakan golongan barang yang tidak terkena PPN.
Maksud baik pemerintah agar pengolahan batu bara dapat menciptakan nilai tambah yang semakin menguntungkan, ternyata tidak selamanya disambut baik oleh para pengusaha. Ditengarai tingginya nilai investasi yang harus dikeluarkan untuk mengolah batu bara, terutama dari sisi teknologinya, membuat banyak perusahaan tambang lebih suka menjual batu bara dalam kondisi mentah, terutama untuk diekspor. Lihat data di bawah ini.
Tahun | Produksi | Ekspor | Domestik |
2019 | 616,16 | 454.5 | 138,42 |
2018 | 557,77 | 356,39 | 155,08 |
2017 | 461,36 | 286,94 | 97,03 |
2016 | 456,17 | 331,37 | 91 |
2015 | 461,29 | 365,75 | 86 |
Selain itu, lokasi tambang batu bara di Indonesia umumnya bersifat open mining sehingga lebih ekonomis dalam penambangannya. Kondisi ini tentu makin mendorong minat pengusaha untuk memaksimalkan keuntungannya. Banyaknya perusahaan yang melakukan hal demikian, makin meningkatkan bargaining position mereka di depan pemerintah. Jadi tak mengherankan bila tuntutan agar batu bara dikelompokkan sebagai BKP, baik secara langsung melalui aspirasi maupun secara tak langsung melalui berbagai kasus sengketa, berhasil ‘memaksa’ pemerintah mengakomodasi tuntutan tersebut. Melalui penyusunan omnibus law UU Ciptaker tahun 2020 inilah akhirnya momentum itu didapatkan.