
Bisnis, JAKARTA — Otoritas fiskal perlu memaksimalkan pungutan dari wajib pajak orang pribadi kelas atas alias orang kaya yang terbukti kebal diterpa resesi. Selain dapat menjadi salah satu sumber penerimaan pajak yang bisa diandalkan, langkah ini juga berpotensi menurunkan ketimpangan atau gini ratio.n
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Orang Pribadi pada tahun lalu terbukti tahan banting.
Penerimaan dari jenis pajak ini tercatat mencapai Rp11,56 triliun atau setara dengan 112,92% terhadap target yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pajak orang kaya juga menjadi satu-satunya jenis pajak utama yang mampu tumbuh positif di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. (Lihat infografik).
“PPh 25/29 Orang Pribadi pertumbuhannya tercatat masih positif yaitu 3,21% (year on year/yoy),” tulis Kementerian Keuangan dalam laporan APBN Kita 2020 yang dikutip Bisnis, Senin (22/2).
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada September 2020 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio sebesar 0,385.
Angka tersebut meningkat 0,004 poin dibandingkan dengan Maret 2020 yakni 0,381, dan meningkat 0,005 poin dibandingkan dengan September 2019 sebesar 0,380.
Optimalisasi penerimaan pajak dari orang kaya bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belanja yang terus membengkak.
Jika langkah ini ditempuh, maka pemerintah bisa mengurangi porsi utang untuk memenuhi belanja pada tahun ini.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan salah satu masalah klasik Indonesia adalah ketimpangan pendapatan yang terlampau lebar antara masyarakat kaya dan miskin.
Artinya, pendapatan masyarakat kaum kelas atas di Indonesia naik lebih cepat jika dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah.
Akan tetapi menurutnya kenaikan pendapatan orang kaya tersebut tidak sejalan dengan setoran pajak PPh 25/29 Orang Pribadi yang tergolong rendah.
“Ini menunjukkan selama ini sistem pemajakan di Indonesia belum efektif dalam memangkas ketimpangan pendapatan. Padahal, pajak seharusnya bisa menjadi alat redistribusi kekayaan,” jelasnya.
Mengacu pada data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), di negara-negara maju struktur pajaknya didominasi oleh PPh Orang Pribadi, kemudian diikuti oleh pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak korporasi alias PPh Badan.
Sementara itu di negara berkembang termasuk Indonesia justru sebaliknya, di mana PPh Badan dan PPN justru menyumbang pajak paling besar. Adapun PPh 25/29 Orang Pribadi porsinya sangat kecil, bahkan jika dibandingkan dengan setoran PPh Karyawan.
Dengan kata lain, kepatuhan pajak di kalangan buruh dan pekerja formal jauh lebih baik dibandingkan dengan kepatuhan orang kaya yang menjadi target PPh 25/29 Orang Pribadi.
“Jika mengedepankan prinsip keadilan, orang mampu seharusnya membayar pajak lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang kurang mampu,” kata dia.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan potensi pungutan pajak dari orang kaya masih bisa terus digali oleh otoritas fiskal.
Menurutnya, instrumen pajak dapat menurunkan kesenjangan, sejalan dengan salah satu fungsi pajak yakni regulerend.
PENGGALIAN
Untuk mempersempit gap tersebut, otoritas pajak perlu lebih mengintensifkan penggalian potensi di ranah ini.
“Salah satu cara adalah selain memanfaatkan data pihak ketiga yang sudah diperoleh secara mandatory, juga dengan memanfaatkan data dan fakta yang tersaji di lapangan,” kata dia.
Sebab, wajib pajak orang pribadi jenis ini bisa ditelusuri jejak penghasilannya tidak hanya dari yang tertulis di atas kertas, juga dari gaya hidup.
“Saya rasa butuh penanganan khusus, kalau perlu bentuk satgas tersendiri,” usul dia.
Selain itu, Ajib menambahkan bahwa PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi bisa menjadi alternatif sumber penerimaan negara di tengah lesunya setoran PPh Badan.
Seperti diketahui, selama ini pemerintah sangat tergantung pada setoran pajak korporasi yang kinerjanya sangat terpengaruh oleh kondisi ekonomi terkini.
Pada tahun lalu, setoran PPh Pasal 25/29 Badan tercatat turun hingga 37,80%. Hal ini disebabkan oleh lesunya kegiatan ekonomi dan derasnya kucuran stimulus.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan moncernya realisasi penerimaan dari wajib pajak orang kaya mencerminkan terjaganya tingkat kepatuhan sukarela sepanjang tahun lalu.
Dia menambahkan, untuk meningkatkan setoran pajak jenis ini terutama setoran PPh orang kaya, otoritas fiskal akan terus melakukan imbauan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak.
“Tentunya diiringi dengan kemudahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Contohnya dalam layanan pembayaran dan pelaporan pajaknya yang sekarang sudah terhubung secara daring,” jelasnya.
Kebijakan tersebut juga diiringi dengan pengawasan secara maksimal. Namun demikian, bukan berarti Ditjen Pajak menggunakan strategi ‘berburu di kebun binatang’.
Sejauh ini, Ditjen Pajak telah menerapkan Complain Risk Management (CRM). Dengan CRM otoritas pajak bisa lebih optimal melakukan pengawasan terhadap wajib pajak yang tidak patuh.